Arsip NASA: Ada Sekitar 5.000 Ekstrasurya Jauh di Luar Tata Surya Kita
Esktrasurya pertama kali ditemukan pada 1992. Temuan itu menjadi salah satu tonggak pengetahuan kita tentang alam semesta, yang menunjukkan bahwa planet tidak hanya mengitari matahari kita.
Saat itu dua astronom, Alexander Wolszczan dan Dale Frail, mendapati dua planet ekstrasurya berbatu, mengorbit bintang lain, dan jaraknya sekitar 2.300 tahun cahaya.
Kedua planet ekstrasurya ini berukuran 4,3 dan 3,9 kali massa bumi, dan bintang yang diitarinya adalah bintang mati yang dikenal sebagia pulsar milidetik. Bintang mati itu mengirimkan denyut gelombang radio dan diberinama Lich.
Berikutnya di tahun 1994, ditemukan pula planet ekstrasurya yang mengitari bintang yang sama. Ukurannya jauh lebih kecil atau sama dengan 0,02 kali massa Bumi. Ketiga planet itu secara berurut diberinama Poltergeist, Phobetor, dan Draugr.
Kini, atau selama 30 tahun sejak temuan pertama itu, manusia telah menemukan banyak ekstrasurya. Berdasarkan arsip NASA di situs jejaring Infrared Processing and Analysis Center (IPAC) oleh California Institute of Technology (Caltech), hari Senin (21/03/22) kemarin, terdapat 5.005 planet ekstrasurya yang telah didokumentasikan. Planet-planet ini memiliki karakteristik yang unik jauh di luar tata surya kita.
"Ini bukan sekadar angka," kata Jessie Christiansen, astronom NASA Exoplanet Science Institute di Caltech, dikutip dari rilis. "Masing-masaing dari mereka adalah dunia baru, planet yang benar-benar baru. Saya senang dengan setiap planet karena kita tidak tahu apa-apa soal mereka."
Banyaknya temuan planet ekstrasurya di luar sana menunjukkan bahwa dalam sebuah galaksi, dalam hal ini Bima Sakti, dipenuhi dengan benda-benda unik.
Pulsar adalah salah satunya, salah satu jenis bintang neutron yang intinya mati dari sebuah bintang berukuran besar dan telah menghabiskan sebagian besar besar massanya. Untuk menjadi bintang neutron, bintang massif itu kemudian menyusut karena gravitasinya sendiri.
"Jika Anda dapat menemukan planet di sekitar bintang neutron, planet pada dasarnya seharusnya ada di mana-mana. Proses produksi planet harus sangat kuat," kata Wolszcazan yang pertama kali menemukan ekstrasurya itu.
Dia sampai saat ini masih mencari planet ekstrasurya sebagai profesor di Pennsylvania State University. Dia menambahkan, saat ini kita berada di era yang lebih dari sekadar menambahkan planet dalam daftar NASA.
Sebelumnya, untuk mengidentifikasi ekstrasurya harus berdasarkan waktu yang teratur dari denyut yang dihasilkan bintang. Denyut yang dideteksi akan mengalami sangat sedikit perubahan karena ada pengaruh gravitasi benda-benda yang mengorbit. Karena teknik terbatas pada pulsar, kekurangannya dinilai tidak cocok untuk mengungkap bintang deret utama yang tidak punya denyut milidetik yang teratur, ujarnya.
NASA akhirnya mengembangkan metode transit yang dipelopiru William Borucki. Metode transit ini bekerja dengan pengamatan peredupan cahaya bintang yang teratur pada sebuah planet ekstrasurya yang melintas antara sumber pengamatan dan bintang induknya.
Tahun 2009, Teleskop Luar Angkasa Kepler diluncurkan dan menyumbang lebih dari 3.000 planet ekstrasurya yang telah dikonfirmasi ke dalam daftar. Idenya, teleskop ini akan menatap langit yang mencakup 170.000 bintang selama bertahun-tahun untuk mencari penyusutan cahaya yang kecil di dalamnya ketika planet melintas.
"Saya benar-benar puas dan sangat kagum atas apa yang ada di luar sana," kata Borucki menikmati hasil-hasil Kepler. "Tidak ada dari kita yang awalnya berharap sistem planet yang beragam dan bintang yang sangat besar ini. Luar biasa sekali."
Perkembangan teknologi pun berlanjut dengan mempelajari efek gravitasi yang dihasilkan planet ekstrasurya terhadap bintag induknya. Ketika objeknya mengorbit ke pusat gravitasi bersama sebuah bintang, panjang gelombang cahayan berubah untuk sehingga bisa diamati.
Teleskop yang melacak planet-planet ekstrasurya pun diluncurkan tahun 2018 bernama Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS).
Ada pula perkembangan teknologi yang makin signifikan dan lebih sensitif mendeteksi sejak Teleskop Antariksa James Webb. Teleskop yang diluncurkan tahun 2016 itu bekerja dengan menangkap cahaya dari atmosfer planet dan membaca susunan gas di dalanya. Tujuannya, agar dapat mengidentifikasi tanda kondisi layak huni di luar angkasa.
Kedepannya juga akan diluncurkan Teleskop Antariksa Nancy Grace Roman yang rencananya dilakukan tahun 2027. Dengan demikian, teknologi ini dapat membuat berbagai planet ekstrasurya baru menggunakan beragam metode.
Misi ini akan diluncurkan oleh ESA yang akan mengamati atmosfer planet ekstrasurya. Tak ketinggalan, NASA terlibat dalam alat yang disebut CASE untuk membidik awan dan kabut pada planet.
No comments: