Bertentangan Dengan Teori, Galaksi Bima Sakti Ternyata Tidak Homogen
Pengamatan yang dilakukan para astronom dari University of Geneva mengonfirmasi bahwa komposisi gas di galaksi Bima Sakti tidak tercampur secara homogen. Temuan itu bertentangan dengan model yang digunakan hingga saat ini.
Para astronom telah mempelajari komposisi gas dan logam yang membentuk bagian penting dari galaksi kita. Pengamatan tersebut bertujuan untuk lebih memahami sejarah dan evolusi Bima Sakti. Detail penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal bergengsi, Nature pada 8 September 2021.
Peneliti menjelaskan, ada tiga elemen utama menonjol di galaksi Bima Sakti. Ketiga gas itu yakni, gas awal yang berasal dari luar galaksi kita, gas di antara bintang-bintang di dalam galaksi kita yang diperkaya dengan unsur-unsur kimia dan debu yang tercipta dari kondensasi logam yang ada dalam gas ini. Sampai sekarang, model teoretis mengasumsikan bahwa ketiga elemen ini tercampur secara homogen di seluruh Bima Sakti dan mencapai tingkat pengayaan kimia yang mirip dengan atmosfer Matahari, yang disebut Solar metallicity.
Tapi kini, tim astronom University of Geneva menunjukan bahwa gas-gas ini tidak tercampur sebanyak yang diperkirakan sebelumnya. Temuan itu memiliki dampak kuat pada pemahaman evolusi galaksi saat ini. Akibatnya, simulasi evolusi Bima Sakti harus dimodifikasi.
Annalisa De Cia, seorang profesor di Department of Astronomy di Faculty of Science, University of Geneva Faculty menjelaskan bahwa galaksi terdiri dari kumpulan bintang dan dibentuk oleh kondensasi gas dari medium intergalaksi yang sebagian besar terdiri dari hidrogen dan sedikit helium. Gas ini tidak mengandung logam tidak seperti gas di galaksi – dalam astronomi, semua unsur kimia yang lebih berat dari helium secara kolektif disebut "logam", meskipun mereka adalah atom dalam bentuk gas.
"Galaksi didorong oleh gas 'perawan' yang jatuh dari luar, yang meremajakannya dan memungkinkan bintang-bintang baru terbentuk," jelasnya dalam rilis University of Geneva.
Pada saat yang sama, lanjutnya, bintang-bintang membakar hidrogen yang menyusunnya sepanjang hidupnya dan membentuk unsur-unsur lain melalui nukleosintesis. Ketika sebuah bintang yang telah mencapai akhir hidupnya meledak, ia menghasilkan logam seperti besi, seng, karbon, dan silikon, dan memasukkan unsur-unsur ini ke dalam gas galaksi.
Atom-atom itu kemudian dapat mengembun menjadi debu, terutama di bagian galaksi yang lebih dingin dan lebih padat. "Awalnya, ketika Bima Sakti terbentuk, lebih dari 10 miliar tahun yang lalu, ia tidak memiliki logam. Kemudian bintang-bintang secara bertahap memperkaya lingkungan dengan logam yang mereka hasilkan", ia melanjutkan.
Dan ketika jumlah logam dalam gas ini mencapai tingkat yang ada di Matahari, para astronom berbicara tentang Solar metallicity. Dalam astronomi, metallicity adalah kelimpahan unsur-unsur yang ada dalam suatu objek yang lebih berat dari hidrogen dan helium. Sebagian besar materi fisik normal di alam semesta adalah hidrogen atau helium, dan para astronom menggunakan kata "logam" sebagai istilah singkat untuk semua elemen kecuali hidrogen dan helium.
Untuk melakukan pengamatan itu, para astronom mengembangkan metode baru untuk mengamati total metallicity. Selama 25 jam, tim ilmuwan mengamati atmosfer 25 bintang menggunakan Hubble dan Very Large Telescope (VLT) di Chili.
Metode baru itu dikembangkan karena mereka punya masalah, bahwa debu tidak dapat dihitung dengan spektograf yang digunakan meskipun mengandung logam. "(Metode) ini melibatkan mempertimbangkan komposisi total gas dan debu dengan mengamati secara bersamaan beberapa elemen seperti besi, seng, titanium, silikon dan oksigen. Kemudian kita dapat melacak jumlah logam yang ada dalam debu dan menambahkannya ke yang sudah diukur oleh pengamatan sebelumnya untuk mendapatkan totalnya," jelas peneliti.
Berkat teknik pengamatan ganda ini, para astronom telah menemukan bahwa lingkungan Bima Sakti tidak hanya tidak homogen, tetapi beberapa area yang dipelajari hanya mencapai 10% dari Solar metallicity.
Hasil tersebut, menurut peneliti, memiliki dampak yang kuat pada pemahaman kita tentang evolusi galaksi dan kita sendiri pada khususnya. Logam memang memainkan peran mendasar dalam pembentukan bintang, debu kosmik, molekul, dan planet. Dan sekarang kita tahu bahwa bintang dan planet baru dapat terbentuk hari ini dari gas dengan komposisi yang sangat berbeda. "Penemuan ini memainkan peran kunci dalam desain model teoretis tentang pembentukan dan evolusi galaksi”, kata Jens-Kristian Krogager, peneliti di Department of Astronomy, University of Geneva.
No comments: